Label

Jumat, 02 Oktober 2009

A tribute to Parni : Ikan Pari Raksasa

SeaWorld Indonesia memiliki ikan pari mas terbesar bernama Parni yang berasal dari Pelabuhan Ratu, Jawa Barat.
Parni didatangkan pada tanggal 22 Desember 1999, saat itu ukuran tubuhnya 200 cm dengan
kondisi ekor yang sudah terpotong. Semenjak kedatangannya, Parni mendapatkan perawatan khusus dan penuh kasih sayang.

Seiring berjalannya waktu, pertumbuhan badannya menjadikan Parni sebagai penghuni akuarium terbesar yang ada dan penampilannya di akuarium utama saat feeding show selalu menjadi puncak kemeriahan acara.
Parni pun menjadi primadona SeaWorld Indonesia yang selalu dicari dan dinanti.


Setelah selama 9 tahun tinggal di akuarium utama, Parni meninggalkan kita semua, pada tanggal 9 Oktober 2008. Diameter tubuhnya saat itu sudah mencapai 250 cm dengan berat 230 kg

Usianya diperkirakan sudah mencapai 70 tahun, berdasarkan perhitungan bahwa Pari Mas mencapai dewasa setelah diameternya mencapai ukuran 110 cm (Florida Museum of Natural Ichthyology Department). Untuk mencapai ukuran tersebut diperkirakan dibutuhkan waktu + 40 tahun, data tersebut merupakan perkiraan dariukuran juvenile saat lahir (+ 30 cm).

Usia Parni yang senja juga terbukti dari hasil nekropsi dan pemeriksaan menyeluruh yang menyimpulkan bahwa kematiannya karena usia yang sudah tua (senility) sehingga terjadi degenerasi organ tubuh.

Ukuran raksasa Parni (megafish) mencatatnya sebagai ikan pari mas terbesar di Indonesia dan kehadirannya selama 9 tahun di SeaWorld Indonesia menjadikannya jenis ikan pari langka terlama yang pernah hidup di dalam akuarium.

Kini Parni hanya menjadi kenangan namun kenangan tersebut tidak akan hilang karena Parni tetap ada dan dapat dilihat melalui pengabadiannya dalam bentuk awetan di SeaWorld Indonesia.

Kamis, 03 September 2009

Pembedahan Spesimen Ikan Raja Laut

Pada tanggal 25 November 2008, ternyata satu ekor ikan purba ditemukan kembali dalam keadaan masih hidup (di Pulau Talise - Sulawesi Utara). Langsung saja SeaWorld Indonesia meminta kesediaan Departemen Kelutan dan Perikanan Sulawesi Utara untuk mengijinkan si Raja Laut dibawa ke Jakarta.
Kedatangan Coelacanth di sambut gembira, bukan saja oleh segenap penghuni SeaWorld Indonesia, tetapi juga para peneliti dari BRKP (Badan Riset Kelautan dan Perikanan).
Oleh karena itu pada hari Selasa, 11 Agustus 2009, dilaksanakan langkah pengamanan sampel spesimen ikan purba ini di SeaWorld Indonesia
Langkah pertama dimulai dengan mengeluarkan ikan dari dalam lemari pendingin jam 01.00 dini hari, lalu dicairkan. Ternyata membutuhkan waktu 12 jam agar ikan purba mencair setelah beberapa bulan di dalam
lemari es.

Setelah 12 jam, tepat pukul 13.00, dilakukan Morfometri atau pengukuran tubuh ikan.
Selanjutnya adalah pembedahan ikan untuk mengambil bagian hati, lambung, usus, sirip, dan lainnya mengetahui umur, jenis makanan, jenis kelamin. Wow hebat yah.
Setelah dibelah dan diambil bagian dalam tubuh ikan, kini saatnya membentuk kembali dan menjahit Coelacanth agar dapat ditampilkan dalam bentuk awetan yang dilakukan oleh tim SeaWorld yang dipimpin oleh drh. Wisnu
(dokter hewan SeaWorld Indonesia) yang membutuhkan waktu 5 jam
Selanjutnya adalah tahap preservasi atau pengawetan dengan larutan kimia formalin 40%, alkohol 35%, 55% dan 70 % agar tidak rusak dan hancur.
walaupun berat, ini semua dilakukan agar masyarakat Indonesia dapat mendapatkan informasi tentang ikan purba ini (dwee).
Tim pembedah SWI (Drh. Wisnu, Dewi, GAlih, Rosihan)

Jumat, 26 Juni 2009

Taman Akuarium Air Tawar


Taman Akuarium Air Tawar merupakan salah satu lokasi yang menjadi tujuan para pengunjung TMII. Untuk masuk ke TAAT, sebeleumnya pengunjung harus membayar tiket masuk ke dalam TMII terlebih dahulu.
TAAT dikenali dari bangunan khas beratap hijau dan maskot ikan Arwana yang menjadi ciri khas TAAT. Bangunan TAAT berada di tengah sebuah danau buatan yang diisi dengan ikan mas dan beberapa ekor angsa. Danau tersebut juga dijadikan tempat penyewaan perahu yang dapat digunakan untuk berekreasi mengitari danau. Pada bagian jembatan masuk ke dalam wahana terdapat spanduk yang menginformasikan mengenai TAAT sebagai Kawasan Konservasi Air Tawar In Situ maupun Ex Situ.
Tiket masuk TAAT terbilang cukup murah hanya Rp. 10.000 / orang, dan tiket tersebut tersebut termasuk tiket masuk museum serangga. Lokasi pembelian tiket cukup kecil dan hanya dijaga oleh 1 orang gate control dan 2 orang tiketing.
TAAT menampilkan sebagian besar ikan-ikan air tawar dari Indonesia, ada juga beberapa jenis ikan dari negara lain, seperti ikan piranha, arapaima gigas, dan sebagainya. Terdapat juga biota salamander di salah satu akuariumnya. Ikan yang berasal dari daerah di Indonesia ditampilkan dengan desain akuarium khusus di bagian atasnya yaitu bentuk atap rumah adat daerah tersebut.
TAAT juga memiliki atap yang di desain sepreti terowongan yang berada di pintu masuk wahana, namun ukurannya tidak besar. Di sana juga terdapat kolam khusus yang berisi arapaima dilengkapi jembatan di bagian atasnya, tetapi sangat disayangkan Arapaima hanya terdapat 1 ekor saja dan berdiam di bawah jembatan sehingga sulit untuk dilihat.
Pada display biota di setiap akuarium juga dilengkapi dengan signage informasi biota. Beberapa signage di buat khusus di dalam neon box namun konsisinya tidak terawat dan informasi yang diberikan kuarang didesain lebih menarik serta sangat sedikit yang memberikan informasi dalam bahasa inggris.
Kondisi biota juga kurang diperhatikan kesehatannya. Karena ditemukan beberapa ikan yang mengalami luka atau penyakit di tubuh ikan serta terdapat ikan arwana dengan bagian operculum terlekuk.
Kebersihan akuarium juga kurang dijaga, hal tersebut terlihat dari adanya lumut dan juga keong yang menempel di dasar maupun di bagian filter. Pada beberapa akuarium juga ditemukan beberapa peralatan yang tidak seperlunya berada didalam akuarium, sperti potongan pipa ataupun ember yang berisi makanan biota. Kaca akuarium juga tidak diperhatikan kebersihannya sehingga membuat tampilan akuarium kurang menarik. Untuk bagian luar akuarium sering terlihat kabel yang tidak tersusun rapih.
TAAT juga memilki perpustakaan yang berukuran lebih besar dari Perpustakaan SeaWorld Indonesia. Buku-buku disusun dalam rak-rak-rak besi untuk buku ilmiha dan rak kayu untuk buku anak-anak. Sebagian besar koleksi bukunya adalah mengenai budidaya dan teknik pemeliharaan ikan, sedangkan buku untuk anak-anak sangat sedikit sekali.
Hal yang menarik dari TAAT antara lain adanya denah yang didisplay pada akrilik. Pada tampilan beberapa akuarium juga terlihat ada yang lebih menarik karena dilengkapi dengan tumbuhan air sehingga akuarium lebih terlihat sejuk dan hidup. Efek buble pada akuarium tertentu juga dibuat lebih menarik seperti efek jatuhan air hujan, ataupun rekahan dari dasaran laut.
TAAT juga banyak menampilkan informasi tentang ikan maupun lingkungan dalam bentuk poster yang dipajang di dinding-dinding wahananya. Wahana TAAT juga kini telah mengubah Auditoriumnya sebagai bioskop 3D. Bagi pengujung yang ingin menikmati film 3D tersebut dikenakan biaya tambahan sebesar Rp. 10.000/orang selama 15 menit.
Kolam terapi juga menjadi bagian dari inovasi TAAT, yaitu dengan dibuatnya 2 kolam khusu berisi ikan dokter, namun tidak diketahu apakah ini ikan Garra rufa asli. Untuk menikmati terapi ikan dokter pengunjung juga dikenakan biaya tambahan Rp. 50.000 / 20 menit. Namun lokasi kolam tersebut tidak stategis, nyaman dan kurang privasi, karena terletak di bagian terpisah dari wahana display akuarium tanpa dilengkapi penyejuk ruangan dan pelayanan khusus.
Semoga TAAT dapat meningkatkan dirinya lebih lagi dengan perhatian dari pemerintah dan rakyat Indonesia sehingga tempat ini dapat menjadi tujuan wisata kebanggaan kita semua.

Kamis, 11 Juni 2009

MONSTER KUTU AIR

Bukan Monster Sesungguhnya
Beredarnya video monster air di Pantai Ancol, Jakarta Utara, membuat sejumlah warga resah. Hal tersebut karena dalam video yang direkam dengan terencana berdurasi 3.16 menit, ditampilkan bagaimana gerombolan makhluk kecil di tepi pantai menghabiskan bangkai ikan segar dalam waktu singkat layaknya seekor piranha. Binatang mirip kecoa kecil berukuran panjang sekitar 0,75 - 1,5 cm dikenal para nelayan dengan sebutan kutu air ini..
Pihak PT. Pembangunan Jaya Ancol meminta bantuan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk meneliti kebenaran tentang monster tersebut, dan hasil penelitian menyebutkan bahwa monster kecil ini merupakan parasit ikan yang tidak berbahaya untuk manusia.

"Yang disebut monster itu adalah Crustacea (udang-udangan) dengan jenis cirolana dan tidak berbahaya bagi manusia," kata peneliti sumber daya laut bagian Crustacea Pusat Penelitian Oceanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Indra Aswandy, saat konferensi pers di Gelanggang Samudra Jaya Ancol, Selasa.

Apa itu Kutu Air:
Kutu air adalah sebutan untuk hewan kecil seperti serangga atau kuman yang hidup di air. Kutu air ini dikelompokkan sebagai hewan Isopoda. Isopoda bernafas dengan insang.
Isopoda termasuk kedalam kelompok hewan Crustacea (udang-udangan), dan terdapat sekitar 10.000 jenis yang telah teridenifikasi. Ukurannya pun bermacam-macam dari 0.5 mm samapi 500 mm dengan bentuk yang bermacam-macam. Namun secara umum bagian-bagian tubuhnya seperti gambar di bawah ini :

Tempat Hidup
Sekitar 4500 jenis Isopoda merupakan penghuni dasaran daerah perairan laut.
Untuk Cirolana yang di duga sebaga Isopoda Monster Kutu air merupakan Isopoda dengan ukuran <>

Senin, 08 Juni 2009

COELACANTH
Latimeria menadoensis

Mungkin banyak orang yang belum tahu betapa uniknya laut Indonesia. Salah satunya banyak sekali biota yang menunjukkan kemampuan bertahan hidupnya di bumi Indonesia. Ini adalah sedikit Informasi mengenai ikan purba yang masih ditemukan di Indonesia.

Klasifikasi
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Sub-Filum : Gnathostomata
Kelas : Sarcopterygii
Sub-Kelas : Crossopterygii
Ordo : Coelacanthiformes
Famili : Latimeriidae

Usia Maksimum : 100 tahun

Panjang Maksimum : 2 m

Coelacanth merupakan salah satu fosil hidup yang masih ada dan memiliki ciri khas ikan purba antara lain sirip-sirip yang berlobus, mata berukuran besar, gelembung renang yang mengecil serta memiliki spirakula, tulangnya sebagian besar terdiri dari tulang rawan, dan sisiknya terlihat tidak sempurna (seperti batu). Coelacanth sendiri artinya adalah duri yang berongga, diambil dari kata coelia (berongga) dan acanthos (duri), karena duri siripnya berongga.

Zaman DevonianIkan purba ini diperkirakan sudah punah sejak akhir masa Creataceous 65 juta tahun yang lalu, sampai sebuah spesimen pertama ditemukan perairan Sungai Chalumna, Afrika Selatan, tahun 1938. Sejak itu Coelacanth telah ditemukan di Komoro, perairan Pulau Manado di Sulawesi, Kenya, Tanzania, Mozambik, Madagaskar dan Taman Laut St. Lucia.
Di Indonesia, Coelacanth pertama ditemukan pada bulan Juli 1998 oleh nelayan di pulau Manado Tua, Sulawesi Utara-Indonesia. Dan tanggal 19 Mei 2007, fosil hidup ini kembali ditemukan di Sulawesi Utara dengan ukuran sepanjang 131 cm dengan berat 51 kg. Penduduk lokal tempat ditemukan ikan ini menyebutnya sebagai Raja Laut atau ‘King of The Sea’.


Spesimen ikan purba yang ditemukan di Sulawesi Utara ini kini statusnya adalah milik pemerintahan Republik Indonesia yang diwakili oleh Pemda Sulawesi Utara dan Departemen Kelautan dan Perikanan. Penelitian mengenai ikan ini juga telah bekerjasama dengan negara Jepang dan ditampilkan pertama kali di Fukushima Aquamarine, Jepang.